Berada diantara barisan bukit dan gunung membuat pemandangan Desa Sri Wangi, Kec. Boyan Tanjung, Kab. Kapuas Hulu, Prov. Kalimantan Barat sangat menyejukkan mata. Jalan tanah berbatu membuat suasana tampak asri nan alami. Apalagi pagi ini, Jum’at, 20/07/2017, matahari yang cerah tampak dengan senang hati menyinari. Sehingga tampak sempurna ciptaan Tuhan di secuil permukaan bumi yang orang menyebutnya “Jantung Dunia” ini.
Masih sekitar pukul 05.30, masyarakat sudah tampak beraktivitas di depan rumah mereka, ada yang menyapu teras, menjemur pakaian dan membuka warung. Namun, tak nampak seorang pun yang hendak pergi “ngaret”. Memang masyarakat Desa Sri Wangi mayoritas adalah petani karet yang seharusnya sudah berangkat pagi-pagi sekali.
Salah seorang pria yang tampak kekar, As’at (37 tahun) berjalan ke sebuah warung. Wajahnya tampak segar, tapi tiba-tiba berubah ketika ditanya tentang kerja. As’at mengatakan bahwa sebagian besar warga di Kabupaten Kapuas Hulu tidak akan pergi bekerja pada hari jum’at.
“Rata-rata kalau di Kapuas Hulu orang tidak mau pergi bekerja Hari Jum’at. Kalau Sabtu, Minggu tetap kerja. Ya, kita istirahat lah, kan mau siap-siap jum’atan,” tukasnya.
Memang 100% masyarakat Desa Sri Wangi merupakan Suku Melayu, Islam. Sehingga wajar saja jika alasan tidak bekerja adalah karena akan jum’atan. Kaum hawa pun tidak akan pergi bekerja, mereka hanya akan mengerjakan pekerjaan rumah, seperti mencuci pakaian dan menyapu halaman. Begitulah mereka menghargai Hari Jum’at.
Namun, wajah As’at seperti ingin berkata lain. Dan memang, ternyata ia mengaku tak punya pekerjaan tetap. Meski punya ladang karet, ia jarang ikut ngaret karena sudah dikerjakan oleh istrinya.
“Saya biasanya nyetir mobil, bawa karet ke Pontianak. Itu pun kalau ada karet yang diantar. Kalau tidak, ya diam-diam saja di rumah,” ujarnya santai.
Dihuni oleh 166 Kepala Keluarga dari dua dusun, yaitu Dusun Gurun Ladan dan Tanjung Lanyan membuat suasana Desa Sri Wangi sepertinya tak mungkin sepi. Namun fakta berkata lain, masyarakat harus lebih lama di ladang karet dan jarang berada di rumah agar mendapat penghasilan yang lebih besar.
Kondisi masyarakat diungkapkan Plt Kades (Pelaksana Tugas Kepala Desa), Muhamad Nor (44 tahun), ketika ditemui di Kantor Desa, Rabu, 26/07/2017. Beliau mengungkapkan perasaan masyarakat tentang pekerjaan yang susah didapat.
“Masyarakat memang banyak yang kerja ngaret, karena tidak ada pilihan kerja yang lain. Tapi harga karet sekarang tak sesuai, tak pernah jauh dari Rp.4000. Mana bisa cukup. Padahal dulu sempat Rp.15.000 per kilo. Kita bingung juga dengan pemerintah,” keluhnya.
Padahal sebenarnya alam Kapuas Hulu termasuk Desa Sri Wangi sangat kaya. Bisa berladang dan bertambang. Tapi pemerintah buat aturan tidak boleh buka ladang karena akan membakar lahan dan pertambangan pun sudah mulai dipinta tutup karena merusak alam.
Keluhan juga diungkapkan Kepala Dusun Gurun Ladan, Azman (37 tahun). Di rumahnya yang beratap daun sirap, sarjana yang hendak mengabdikan diri kepada desanya ini juga bingung dengan kebijakan pemerintah terhadap dessanya.
“Orang-orang kan sebut Kapuas Hulu itu Jantung Dunia. Jadi kita harus jaga alam Kapuas Hulu. Tapi masyarakat kan juga butuh pekerjaan, butuh uang untuk hidup. Harusnya pemerintah memperhatikan itu,” keluhnya sambil mengambil sebuah buku, yaitu buku tamu dan meminta untuk diisi. “Tapi apa-apa kita kan dilarang. Jadi kita seperti orang asing di desa sendiri,” sambungnya.
Azman mengaku bahwa tak heran jika ada saja masyarakat yang nekat buka lahan untuk berkebun supaya mendapatkan penghasilan. Tapi tetap saja masyarakat diawasi oleh pihak Polsek Kecamatan Boyan Tanjung.
Siang tadi, Minggu, 23/07/2017, di sebuah warung Kanit Intel Polsek Kecamatan Boyan Tanjung, Ridho Wirawan sedang bersosialisasi dengan masyarakat. Sebagai intel, dia mengaku harus dekat dengan masyarakat dan menampung keluhan-keluhan mereka.
Terkait larangan membuka lahan dan bertambang, Ridho memang mengaku dari pihak Polsek tetap memantau agar masyarakat tidak semabarangan membakar lahan dan membuat tambang.
“Kita pro masyarakat. Jika ada yang buka lahan dan buat tambang kita tidak langsung proses dan tidak ditutup paksa. Kita lihat keadaan masyarakat, kita pelajari dan kita berikan penjelasan tentang dampak-dampak yang akan terjadi kedepannya,” pungkasnya sembari menyeduh kopi.
Muhamad Nor membenarkan terkait adanya sosialisasi yang gencar dilakukan Polsek terkait bahaya membakar lahan dan membuat pertambangan liar.
“Tapi hanya sekedar sosialisasi, dampaknya begini bagi alam katanya. Tapi dampak bagi masyarakat kurang diperhatikan. Masyarakat butuh solusi yang pasti. Itu yang masih belum terjawab hingga kini,” ungkapnya.
Masyarakat bisa saja marah dengan Polsek atau pemerintah karena persoalan ini. Seperti As’at yang merasa sudah sangat geram dengan pemerintah yang tak kunjung memberikan solusi pekerjaan bagi masyarakat, terkhusus dirinya sendiri.
“Jika kami mau, kami bisa marah. Bayangkan, kami harus jaga hutan, tapi kami tak punya penghasilan. Mana keadilan?” ucapnya sambil menujuk arah hutan-hutan yang masih nampak sejauh mata memandang.
Kepala Desa Sri Wangi tetap menghimbau kepada masyarakat untuk tetap sabar dan tidak bersikap radikal. Apalagi Desa Sri Wangi merupakan desa yang masih kental dengan hukum adat.
Ketua Adat Desa Sri Wangi, Ibrahim (65 tahun) yang berharap masyarakat tetap sabar, karena sampai saat ini masih bisa makan meskipun bekerja lebih keras.
“Kita ada adat kesopanan, bagaimana pun kita harus saling menghargai. Semuanya harus dimusyawarahkan,” jelas Ibrahim sambil membuka buku pedoman adat dan memperlihatkan bagian pertama yaitu kesopanan.
Menanggapi keadaan masyarakat saat ini, Ibrahim juga mengaku merasakan. Namun tetap saja, sebagai masyarakat beradat tidak boleh bersikap radikal apalagi sampai terjadi pembunuhan.
“Bagaimanapun, masyarakat yang melanggar hukum adat akan tetap mendapatkan sanksi sebagaimana yang telah ditetapkan,” tegas Ibrahim.
Orang yang melanggar hukum atau aturan adat akan disidang di halaman ataupun aula desa dan akan disaksikan oleh masyarakat banyak. Tentu hal ini sangat memalukan. As’at sendiri mengaku malu jika terkena hukum adat.
“Malu lah kalau kena hukum adat, ditonton banyak orang,” tutur As’at. “Apalagi kita harus bayar denda adat,” sambungnya.
Sebagai manusia biasa yang tak lepas dari khilaf dan salah, apalagi jika merasa dibatasi dan dirugikan, serta larut dalam tekanan, bisa saja masyarakat bertindak radikal.
Persoalan yang dirasakan masyarakat Desa Sri Wangi terkait pekerjaan dan penghasilan yang sulit mereka dapatkan, pemerintah sejatinya bisa memberikan solusi disamping terus bersosialisasi tentang pentingnya menjaga alam. Apalagi sebutan Kapuas Hulu sebagai “Jantung Dunia” sudah mulai dikenal. Harus ada keselarasan. Dan kesejahteraan masyarakat juga harus diutamakan.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar